Oleh: Dr. Rainer Adam
(Kepala Perwakilan Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia)
(Kepala Perwakilan Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia)
Di masa lampau, berbagai pihak pendukung hukuman yang lebih berat atas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mengacu ke Cina, dan memuji berbagai usaha negeri ini dalam menumpas penyakit sosial tersebut. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman yang lebih berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi narapidana korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Cina dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi. Namun, jika kita perhatikan Republik Cina, ternyata Cina tidak dapat dan tidak patut menjadi contoh bagi sebuah negara yang demokratis seperti Indonesia.
Pertama-tama, berbagai usaha pembasmian dan dugaan korupsi di Cina kelihatannya seringkali mempunyai motivasi politik. Dengan dalih memerangi korupsi, lawan dan/atau para pejabat yang secara politis tidak loyal digeser dari jabatannya. Hampir semua pejabat papan atas saat ini dipandang sebagai loyalis mantan ketua partai Jiang Zimin atau menolak Hu Jintao di masa lalu. Tidak seorang pun dari loyalis Hu dituduh melakukan kesalahan.
Selain itu, hukuman mati tampaknya tidak mempunyai efek membuat jera terhadap kriminalitas pada umumnya, dan korupsi khususnya. Kriminalitas terus merajalela, terutama korupsi di kalangan pegawai negeri. Seperti yang terlihat pada berbagai skandal korupsi, persepsi umumnya adalah bahwa di Cina, korupsi terjadi di mana-mana. Dalam artikel baru-baru ini, di International Herald Tribune, Jim Yardly bahkan berbicara mengenai “boom in Corruption” (Ledakan Korupsi). Ia melihat bahwa kampanye anti-korupsi dijalani hanya setengah hati, karena untuk menyingkirkannya dibutuhkan reformasi politik, sebab partai komunis bertahan.
Cina tidak mengungkapkan jumlah eksekusi yng telah dilakukannya. Peradilan kriminalnya telah menjatuhkan hukuman mati atas sekitar 70 pelanggaran yang berbeda. Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1770 orang dieksekusi di Cina pada tahun 2005, dan 3900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Cina memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun; pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000. Baru-baru ini, hakim tertinggi di Cina, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberi hukuman yang lebih ringan. Nyatanya, baru-baru ini Mahkamah Agung di sana menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. Mulai tahun depan, Mahkamah Agung akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati. Gerakan ini dilihat sebagai jawaban terhadap meningkatknya kritik publik terhadap meluasnya praktek hukuman mati secara sewenang-wenang. Faktanya banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, meskipun kemudian terbukti bahwa mereka tidak bersalah (misalnya, ada orang yang diduga telah dibunuh, ternyata beberapa bulan kemudian muncul, dalam keadaan hidup dan baik-baik saja.)
Sudah merupakan fakta nyata bahwasanya dalam sistem politik Cina tidak terdapat mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Berbagai gerakan anti korupsi, kebanyakan mempunyai motif politis dan bersifat musiman. Seringkali gerakan-gerakan tersebut hanya berfungsi untuk membungkam dan menyingkirkan lawan politik. Tidak adanya independensi sistem hukum dari CCP (Chinese Communist Party) menjadi hambatan utama bagi terwujudnya pemerintahan berdasarkan hukum di Cina. Sebagian besar kasus korupsi tidak ditangani oleh jaksa dan polisi, melainkan oleh pengurus partai sendiri. Ketika kasus-kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, partai sering merekomendasikan hukumannya. Contohnya adalah skandal korupsi tingkat tinggi yang terjadi baru-baru ini, menyangkut petinggi partai Shanghai. Ia ditahan oleh para investigator dari partai yang dikirim dari Beijing, dan bukannya oleh polisi atau jaksa setempat. Partai sering menangani kasus korupsi di luar jalur hukum.
Oleh media internasional, Cina diakui berhasil dalam mengundang investasi langsung luar negeri, mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan mengurangi kemiskinan. Sedangkan yang biasanya luput dari sorotan adalah kinerja peradilannya yang suram, dan sistem hukumnya yang tidak berfungsi. Menurut Amnesty International, “Di Cina, tidak seorang pun yang dijatuhi hukuman mati telah menjalani proses peradilan yang adil dan sejalan dengan standar internasional.” Sistem hukum Cina dikritik karena tidak tersedianya akses yang cepat ke pengacara, tidak adanya asas praduga tak bersalah, adanya campurtangan politik di peradilan, dan digunakannya keterangan yang diperoleh dengan cara penyiksaan. Perubahan akhir-akhir ini dalam undang-undang dan diberlakukannya kontrol pusat terhadap hukuman mati dipandang sebagai gerakan untuk memperoleh kembali kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Cina.
Dalam publikasi CPI (Corruption Perception Index) atau Indeks Persepsi Korupsi baru-baru ini oleh Transparency International, Indonesia menempati urutan (130), artinya enam puluh posisi di bawah Cina (70) dan India. Tentu saja Indonesia menanjak tujuh peringkat dibanding tahun lalu, dan skornya membaik dari 2.2 ke 4.4, tetapi jumlah negaranya juga bertambah lima. Meskipun ada kebijakan anti-korupsi oleh pemerintah, posisi Indonesia relatif belum banyak membaik. Ini menunjukkan betapa sulitnya memerangi korupsi. Hal yang positif adalah bahwa Indonesia merupakan satu dari lima negara di Asia yang telah meratifikasi konvensi PBB menentang korupsi, yang juga membuktikan adanya tekad pemerintah memerangi korupsi. Dibentuknya badan-badan independen khusus (seperti misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi – KPK) merupakan kecenderungan positif lainnya yang juga telah menunjukkan hasil yang positif. Seperti kita ketahui, sistem hukum menghadapi banyak kendala dan sangat membutuhkan reformasi secepatnya. Memang ada berbagai usaha yang sedang dilakukan, tetapi berjalan lamban. Pembebasan dari hukuman, inkonsistensi dalam hukuman, kelonggaran yang tidak pada tempatnya, korupsi dan berbagai kelemahan lainnya merupakan rongrongan terhadap terwujudnya keadilan di negeri ini.
Apabila kemudian masyarakat kehilangan kesabarannya, tentu dapat dimengerti. Melalui berbagai jajak pendapat, terungkaplah bahwa cukup besar proporsi masyarakat yang mendukung diberlakukannya hukuman mati untuk kasus korupsi. Namun melihat jenisnya dan meluasnya wabah korupsi di Indonesia sungguh naif bila kita percaya bahwa hukuman mati dapat memperbaiki situasi. Sebaliknya alih-alih menumpasnya, langkah semacam itu justru dapat membuat wabah korupsi semakin parah. Hukuman mati akan meningkatkan “tarif” yang dipasang oleh polisi, jaksa dan hakim atas tersangka yang mereka lindungi atau bela. Pihak ketiga juga akan merasa diuntungkan dalam melibatkan orang dalam praktek korupsi. Semakin kaya calon koruptornya, makin besar harapan mereka untuk menghindar dari hukuman mati. Praktek pemberian kelonggaran oleh peradilan dan sistem penjara akhir-akhir ini, dengan cara setiap kali memberi ‘potongan’ bagi kelakuan baik, memberi pengaruh buruk pada peradilan, dan menyebabkan penjara semakin kurang menakutkan. Pemerintah, berbagai profesi hukum, dan organisasi masyarakat sipil harus terus memberi informasi kepada publik mengenai jenis atau sifat korupsi di Indonesia agar debat dapat berlangsung.
Prasyarat bagi usaha membasmi korupsi untuk jangka panjang adalah pemisahan kekuasaan melalui “trias politika” yang dimiliki Indonesia. Partai politik yang menguasai keseluruhan semacam CCP tidak akan pernah berhasil menumpas korupsi. Kekuasaanlah yang korup, dan kekuasaan secara menyeluruhlah yang korup secara total. Hal inilah yang telah diketahui oleh kaum demokrat di seluruh dunia sejak jaman dahulu kala, tetapi masih harus dipelajari oleh CCP. Bagaimanapun juga, kinerja sistem hukum Indonesia masih jauh dari cukup untuk dapat memperoleh kredibilitas dan kehormatan. Pemerintahan di bawah SBY harus meneruskan usahanya dalam memerangi korupsi dan mengadakan reformasi sistem hukum, agar suatu hari nanti rakyat Indonesia dapat menikmati kejujuran dan keadilan. Mereka tentu akan memilih SBY kembali bila beliau dapat menunjukkan kemajuan yang signifikan di bidang kebijakan ini. Indonesia sudah berada di jalur yang benar, dan tidak membutuhkan hukuman mati untuk kasus korupsi. Bahkan mungkin Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mencontoh Filipina dan menghapuskan hukuman mati sama sekali. Prekondisinya, hukuman yang lebih tegas, dan praktek hukuman yang lebih masuk akal atau bertalian.
0 komentar:
Posting Komentar