Tukang ojek yang mengantar penumpang menuju Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, harus bersusah-payah menaklukkan medan yang berat, Minggu (25/12/2011). Dari desa terluar, yakni Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, memerlukan waktu hingga 10 jam menggunakan sepeda motor. Ongkos ojek mencapai Rp 500.000 sekali antar.
GORONTALO, KOMPAS.com -- Bisa jadi ongkos ojek ke Pinogu, sebuah kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, adalah ongkos ojek termahal. Betapa tidak, dengan jarak sekitar 40 kilometer dari Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu, ongkosnya Rp 500.000 sekali jalan. Tarifnya sudah menyamai harga tiket pesawat dari Gorontalo ke Makassar (Sulawesi Selatan).
Sebenarnya, ada cara lain selain naik ojek menuju Pinogu, yaitu berjalan kaki. Jarak yang ditempuh juga lebih pendek 10 kilometer ketimbang jalur yang dilewati ojek. Hanya saja, berjalan kaki memerlukan ketahanan fisik yang prima serta mental yang kuat. Selain warga Pinogu yang hanya perlu 6 atau 7 jam saja, kebanyakan orang memerlukan waktu 9 hingga 10 jam berjalan kaki menuju Pinogu, termasuk Kompas yang berkunjung ke sana akhir pekan lalu.
"Jika musim hujan begini, ongkos ojek memang mahal. Sebab, kondisi jalan rusak berat penuh lumpur. Kalau musim kemarau, biasanya lebih murah, yaitu Rp 300.000 untuk sekali jalan," tutur Tamin (30), salah satu petani di Pinogu yang berprofesi sampingan sebagai tukang ojek.
Tingginya ongkos ojek di Pinogu saat musim hujan seperti sekarang turut mendongkrak harga bensin eceran. Seliter bensin di Pinogu saat ini seharga Rp 15.000. Untuk sekali jalan, ojek di Pinogu membawa jeriken berisi bensin lima liter. Artinya, mereka menghabiskan sembilan liter bensin seharga Rp 135.000. Harga bensin eceran di Desa Tulabulo adalah Rp 7.000 per liter.
Jadi, pulang pergi dari Pinogu sudah habis ongkos hampir Rp 200.000 hanya untuk bahan bakar. "Itu belum termasuk risiko rantai sepeda motor putus atau ban pecah di jalan. Hal-hal seperti itu biasa kami alami saat mengantar penumpang," ungkap Tamin.
Perlengkapan tukang ojek Pinogu memang serba ada. Selain kunci untuk membuka mur atau baut, mereka juga membawa pompa angin termasuk ban dalam sebagai cadangan jika sewaktu-waktu bocor.
"Warga di Pinogu sangat jarang naik ojek. Biasanya mereka berjalan kaki saat keluar atau kembali ke Pinogu. Umumnya, yang naik ojek adalah para tamu pejabat saja dan itu pun jarang-jarang," kata Tamin.
Waktu tempuh naik ojek dengan berjalan kaki dari dan menuju Pinogu sama saja dengan berjalan kaki, yakni sekitar 9 hingga 10 jam. Jika di musim kemarau, menuju Pinogu bisa memerlukan waktu sampai 6 jam saja dengan ojek.
wow..mahal
tapi , miris lihat jalannya gan
buat anggota dewan , lihatlah ini...
dan pemerintah juga
Kijang, Tukang Pikul Andal di Pinogu
GORONTALO, KOMPAS.com -- Tiadanya infrastruktur jalan yang memadai untuk mobil atau sepeda motor, warga di Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, mengandalkan "kijang" untuk mengangkut berbagai macam barang kebutuhan mereka. Kijang adalah istilah bagi tukang pikul di Pinogu. Mereka berperan penting dalam pengangkutan barang disebabkan letak Pinogu yang terpencil di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Barang-barang yang kerap dibawa oleh kijang adalah barang-barang isi toko kelontong, semacam supermi, perlengkapan mandi dan mencuci, obat-obatan, alat tulis, atau barang buatan pabrik yang tidak ada di Pinogu. Ongkos angkut barang-barang itu adalah Rp 5.000 per kg.
Barang-barang tersebut terkadang dibawa dengan cara dipikul atau dipanggul di atas punggung. Beratnya bisa mencapai 50 kg. Barang tersebut dibawa dengan berjalan kaki selama sekitar delapan jam, tergantung berat beban, dari Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu. Jika tidak membawa beban, mereka sanggup berjalan selama enam jam menuju Pinogu yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Tulabulo.
"Dalam seminggu, saya bisa bolak-balik sampai tiga kali mengangkut barang. Rata-rata berat barang yang saya bawa hanya 30 kg," kata Wafin (20), salah satu kijang yang ditemui Kompas akhir pekan lalu di Pinogu.
Wafin, yang tamat sampai SMP, bisa mengantungi pendapatan Rp 450.000 setiap minggu atau Rp 1.800.000 setiap bulan. Pekerjaan sebagai kijang ia lakukan di sela-sela mengolah sawah dan kebun di desanya.
Menurut M Arifin (45), salah satu warga di Pinogu, kijang juga sangat membantu untuk membawa warga yang sakit parah dan harus segera dirawat di rumah sakit. Si sakit akan ditandu oleh empat orang dan menembus hutan belantara Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Tidak mungkin bagi mereka yang sakit parah dibonceng dengan sepeda motor karena medan yang sukar.
"Perlu kijang empat orang untuk membawa orang sakit dengan tandu. Dipikul oleh dua orang dan sisanya sebagai cadangan. Ongkosnya Rp 1,5 juta," ungkpa Arifin.
Camat Pinogu Abdullah Masalubi berharap pemerintah daerah atau pusat segera membuatkan jalan permanen bagi warga di Pinogu. Jika sudah ada jalan yang bisa dilalui mobil dan sepeda motor dengan mudah, ia yakin taraf hidup warga Pinogu bakal membaik.
Di Pinogu, Lima Buah Durian Seharga Rp 1.000
GORONTALO, KOMPAS.com -- Tanah di Pinogu, salah satu kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, yang berada di pedalaman hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, memang dikenal subur. Aneka macam tanaman pertanian dan perkebunan tumbuh tanpa memerlukan pupuk. Sayangnya, hasil panen di Pinogu tidak bisa dipasarkan ke luar karena tiadanya infrastruktur jalan yang memadai.
Luas area di Pinogu yang dihuni 2.040 jiwa adalah 36.000 hektar dan terdiri dari empat desa, yaitu Desa Pinogu, Bangio, Pinogu Permai, serta Dataran Hijau. Aneka tanaman perkebunan yang tumbuh subur di sana antara lain jagung, kakao, kopi, kemiri, dan durian. Tentu saja selain itu tumbuh juga padi yang ditanam tanpa pupuk sehingga beras di Pinogu dikenal sebagai beras organik.
Harga hasil panen perkebunan di Pinogu tidak jauh berbeda dengan harga di wilayah lain. Misalnya, kopi di Pinogu adalah Rp 15.000 per kg, kemiri Rp 20.000 per kg, kakao Rp 12.000 per kg, dan jagung Rp 2.500 per kg. Selain tanaman palawija, di Pinogu juga banyak tumbuh buah-buahan, seperti mangga, durian, pisang, atau rambutan. Saat panen raya, harga durian di Pinogu hanya Rp 1.000 per lima buah. Namun, tak satu pun durian Pinogu yang dijual ke luar karena sulitnya transportasi.
"Kalau sedang panen raya durian di Pinogu, (durian) tidak laku dijual. Harganya pun bisa jatuh sampai Rp 1.000 dapat lima buah. Siapa yang mau jual ke luar Pinogu? Susah membawanya," tutur M Arifin (45), salah satu warga Pinogu, yang ditemui Kompas akhir pekan lalu di Pinogu.
Sebagai perbandingan, di Kota Gorontalo, sebuah durian dijual seharga Rp 20.000 - Rp 30.000.
Arifin menambahkan bahwa seluruh hasil panen jika ingin dijual ke luar Pinogu harus mengeluarkan ongkos angkut Rp 5.000 setiap kilogram. Hasil panen itu akan dibawa ke luar oleh "kijang", istilah bagi tukang pikul di Pinogu, dengan berjalan kaki. Dan, sampai kini, belum satu pun durian Pinogu yang dipasarkan ke luar Pinogu.
Berjalan kaki menuju atau keluar dari Pinogu bukan perkara enteng. Selain menguras tenaga, juga perlu mental yang tangguh karena menembus hutan belantara, menyeberangi sungai, dan menyusuri lereng perbukitan di dalam hutan. Jarak dari Pinogu ke Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu, sekitar 30 kilometer.
Warga Pinogu biasanya berjalan kaki sejauh itu hanya memerlukan waktu enam jam. Bagi orang yang belum terbiasa, perlu waktu hingga sekitar sembilan jam, seperti yang dialami Kompas akhir pekan lalu. Kalau naik ojek, ongkosnya Rp 500.000 sekali jalan dan menempuh jarak berbeda serta berselisih 10 kilometer lebih jauh dari jalur jalan kaki.
0 komentar:
Posting Komentar