"Sebagai yayasan, keberadaan N7W cukup unik. Yayasan ini tak jelas alamatnya."
Taman Nasional Komodo, salah satu nominasi tujuh keajaiban dunia yang baru. Keberadaan yayasan penyelenggara dipertanyakan. (REUTERS/Beawiharta)
VIVAnews - Kontroversi kebenaran keberadaan yayasan New7Wonders (N7W) masih terus bergulir. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, Swiss, menafikan yayasan yang disebutnya sebagai yayasan fiktif tersebut.
Dalam kronologi versi KBRI Bern yang diterimaVIVAnews, Rabu 2 November 2011, sejak awal penjajakan terlihat keganjilan, terutama pada pemungutan biaya untuk menjadi tuan rumah. Ini jugalah yang membuat Maladewa mundur dari pencalonan salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru.
Menurut KBRI, pada Desember 2007, terpilih destinasi wisata di Indonesia yang masuk nominasi, yaitu Taman Nasional Komodo, Danau Toba dan Anak Gunung Krakatau bersama-sama dengan 440 nominasi dari 220 Negara.
Agustus 2008, Indonesia mendaftar sebagai salah satu panitia pendukung resmi dengan membayar biaya administrasi masing-masing destinasi sebesar US$199 atau sekitar Rp1,7 juta. Barulah pada 21 Juli 2001, Taman Nasional Komodo menjadi nominasi dari Indonesia dari 28 nominasi finalis lainnya.
Februari 2010, pihak N7W menawarkan kepada Indonesia untuk menjadi tuan rumah deklarasi N7W, yang rencananya dilaksanakan pada 11 November 2010. Setelah melakukan penjajakan, dan beberapa kali pertemuan, pada 25 November 2010 Indonesia menyatakan berminat menjadi tuan rumah.
Namun, pada 6 Desember 2010, pihak N7W menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah dengan satu syarat, yaitu harus membayar US$10 juta (Rp89,7 miliar). Lalu pada tanggal 29 Desember 2010 keluarlah ancaman dari pihak N7W.
"Kepala Komunikasi N7W, Eamon Fitzgerald memberikan batas waktu sampai 31 Januari 2011 agar Pemerintah Indonesia menyatakan kesediaannya menjadi tuan rumah. Jika sampai batas waktu itu tidak ada ketegasan, pihak N7W terpaksa akan menangguhkan status Taman Nasional Komodo sebagai finalis N7W," ujar pernyataan KBRI.
Atas keputusan N7W tersebut, Todung Mulya Lubis selaku kuasa hukum Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (dahulu Kembudpar) RI, pada 2 Februari 2011 melayangkan surat elektronik kepada pihak N7W dan memprotes rencana eliminasi Taman Nasional Komodo sebagai finalis.
"Surat tersebut ditanggapi pengacara N7W yang beralamat di London, lima hari kemudian. Isinya, TNK (Taman Nasional Komodo) tidak tereliminasi, melainkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tak lagi bisa menjadi official supporting committee (OSC)," tulis KBRI.
Pada 11 Februari 2011, pihak Todung meminta agar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif disertakan kembali menjadi panitia, tapi tidak ada jawaban. "Tetap masuknya TNK sebagai finalis tanpa keikutsertaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai OSC itu membuat harga diri sebagai bangsa dilecehkan," lanjut KBRI.
Salah satu dari 28 finalis, Maladewa, menarik diri dari kompetisi karena beratnya urusan finansial yang harus ditanggung. Kecurigaan pun dimulai.
"Pada 28 April 2011, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengutus 8 orang delegasi yang terdiri dari Pejabat kementerian, seorang pengacara dari Kantor Pengacara Lubis, Santosa & Maulana dan beberapa wartawan Nasional untuk mengadakan penyelidikan tentang keberadaan N7W," jelas KBRI.
Tim dari Jakarta yang dibantu oleh staff KBRI Bern, mengadakan kunjungan ke alamat yang tertulis sebagai kantor Yayasan N7W: Hoschgasse 8, P.O. Box 1212, 8034 Zurich. Ternyata kode pos dari alamat yang diberikan tidak sesuai, seharusnya alamat itu adalah: Hoschgasse 8, P.O. Box 1212, 8008 Zurich, dimana terdapat museum Heidi Weber yang diarsiteki oleh Le Corbusier dan selesai dibangun pada tahun 1967. Museum itu hanya buka pada musim panas (Juni, Juli, Agustus).
"Sebagai yayasan, keberadaan N7W cukup unik. Yayasan ini tak jelas alamatnya, kecuali alamat e-mail-nya, hanya tertulis N7W berdiri di Panama, berbadan hukum Swiss, dan pengacaranya berada di Inggris. Di mata masyarakat Swiss sendiri Yayasan N7W tidak dikenal, dan bukan bagian dari UNESCO," demikian bunyi keterangan resmi KBRI.
Karena kejanggalan yayasan N7W, yang disinyalir yayasan "abal-abal" seperti disebutkan oleh Duta Besar RI untuk Swiss, Djoko Susilo, KBRI menghimbau agar masyarakat Indonesia tidak terjebak ke dalam permainan N7W.
KBRI mengatakan rakyat Indonesia seharusnya, "hanya mengakui UNESCO sebagai badan resmi yang memberikan atribusi "World Heritage" untuk mengangkat dunia pariwisata Indonesia sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat serta melindungi daerah konservasi".(np)• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar