Mie Instant karya mahasiswa Fakultas Ilmu dan Tekhnologi Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang; Ricki Setyawan, Meidina Nurfitriani dan Maya Mukti berhasil menjadi Juara pertama Kompetisi Teknologi Pangan se Dunia 2011 di Amerika Serikat. TEMPO/Bibin Bintariadi
Laboratorium Food Production and Training Centre (FPTC) Fakultas Ilmu dan Teknologi Pertanian (FITP) Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Jumat siang pekan lalu, 24 Juni 2011. Suasana hiruk-pikuk. Ada yang sedang membungkus aneka kudapan, ada yang memasak, ada pula yang sedang melayani pembeli.
Selain sebagai penghasil makanan olahan, FPTC juga berfungsi sebagai toko. Di tempat ini, mahasiswa dan dosen FITP bisa menjual makanan atau minuman hasil inovasinya. "Kami mencoba menjual mi instan di tempat ini. Saya yakin laku keras," kata Meidina Nurfitrasari, mahasiswa semester VIII FITP yang sedang memasak di dapur FPTC.
Meidina Nurfirasi baru saja menemukan mi instan kaya akan zat besi. Meneliti bersama Ricki Setiawan dan Maya Mukti yang sama-sama mahasiswa FITP, mi instannya berasal dari campuran tepung terigu, singkong, ubi jalar kuning, belut, dan tempe. "Semua dari bahan lokal," ujar Meidina.
Penelitian 3 mahasiswa ini dimulai lima bulan lalu. Berawal dari keinginan mereka mengikuti kompetisi pangan antarmahasiswa sedunia yang diadakan oleh Institute of Food Technologists (IFT). Tema kompetisi tersebut adalah cara menanggulangi kekurangan zat besi melalui pangan di negara berkembang.
Awal penelitian dimulai dengan studi literatur selama sebulan. Mereka menemukan belut dan tempe banyak mengandung zat besi. Dalam banyak literatur disebutkan, kandungan zat besi dalam belut dan tempe mencapai sekitar 25-30 persen.
Dalam studi literatur, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengkonsumsi mi setelah Cina. Pada 2009, jumlah mi yang dikonsumsi orang Indonesia sebanyak 139,3 juta bungkus dan meningkat menjadi 144 juta bungkus pada 2010.
Setelah menemukan jenis makanan yang akan diproduksi, mereka kemudian mempelajari cara membuat mi.
Ternyata, dibutuhkan bahan lain, selain belut dan tempe, yakni tepung terigu. Mereka berpikir mi yang akan diproduksi tak akan banyak berbeda dengan mi pada umumnya jika campurannya hanya tepung terigu.
Mi buatan Mei dan dua temannya ini dibuat dalam kemasan 70 gram dengan kandungan zat besi sebesar 40 persen. Soal bentuk, tergantung selera. Bisa bulat atau kotak. Mi juga bisa dibuat basah atau kering. Namun, trio mahasiswa ini memilih membuat mi kering agar tahan lama. "Masa kedaluwarsanya 6 hingga 8 bulan," kata Ricki.
Kerja keras mereka tak sia-sia. Dalam Kompetisi Teknologi Pangan se-Dunia 2011 yang digelar oleh IFT di New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat, 11-14 Juni 2011 lalu, mereka sukses.
Penelitiannya yang diberii judul "Melawan Masalah Kekurangan Zat Besi Melalui Produksi Mi Instan Kaya Zat Besi dengan Memanfaatkan Bahan-Bahan lokal" berhasil menyabet juara pertama. Sedangkan juara kedua diraih oleh tim dari Universitas Gadjah Mada Yogtakarta dan juara ketiga disabet oleh tim dari Institue of Chemical Technology India.
Menurut dosen pembimbing mahasiswa, Agustin Krina Wardani, keunggulan mi buatan mahasiswa FITP ini terletak pada besarnya kandungan zat besi. Selain itu, produknya akan digemari masyarakat karena mi merupakan produk yang populer dan menggunakan bahan-bahan lokal. "Produk mereka bisa membantu program pemerintah dalam mengatasi masalah kekurangan zat besi dan mendorong peningkatan produk pertanian," katanya.
BIBIN BINTARIADI
sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/uji_produk/2011/07/01/brk,20110701-344232,id.html
Laboratorium Food Production and Training Centre (FPTC) Fakultas Ilmu dan Teknologi Pertanian (FITP) Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Jumat siang pekan lalu, 24 Juni 2011. Suasana hiruk-pikuk. Ada yang sedang membungkus aneka kudapan, ada yang memasak, ada pula yang sedang melayani pembeli.
Selain sebagai penghasil makanan olahan, FPTC juga berfungsi sebagai toko. Di tempat ini, mahasiswa dan dosen FITP bisa menjual makanan atau minuman hasil inovasinya. "Kami mencoba menjual mi instan di tempat ini. Saya yakin laku keras," kata Meidina Nurfitrasari, mahasiswa semester VIII FITP yang sedang memasak di dapur FPTC.
Meidina Nurfirasi baru saja menemukan mi instan kaya akan zat besi. Meneliti bersama Ricki Setiawan dan Maya Mukti yang sama-sama mahasiswa FITP, mi instannya berasal dari campuran tepung terigu, singkong, ubi jalar kuning, belut, dan tempe. "Semua dari bahan lokal," ujar Meidina.
Penelitian 3 mahasiswa ini dimulai lima bulan lalu. Berawal dari keinginan mereka mengikuti kompetisi pangan antarmahasiswa sedunia yang diadakan oleh Institute of Food Technologists (IFT). Tema kompetisi tersebut adalah cara menanggulangi kekurangan zat besi melalui pangan di negara berkembang.
Awal penelitian dimulai dengan studi literatur selama sebulan. Mereka menemukan belut dan tempe banyak mengandung zat besi. Dalam banyak literatur disebutkan, kandungan zat besi dalam belut dan tempe mencapai sekitar 25-30 persen.
Dalam studi literatur, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengkonsumsi mi setelah Cina. Pada 2009, jumlah mi yang dikonsumsi orang Indonesia sebanyak 139,3 juta bungkus dan meningkat menjadi 144 juta bungkus pada 2010.
Setelah menemukan jenis makanan yang akan diproduksi, mereka kemudian mempelajari cara membuat mi.
Ternyata, dibutuhkan bahan lain, selain belut dan tempe, yakni tepung terigu. Mereka berpikir mi yang akan diproduksi tak akan banyak berbeda dengan mi pada umumnya jika campurannya hanya tepung terigu.
Mi buatan Mei dan dua temannya ini dibuat dalam kemasan 70 gram dengan kandungan zat besi sebesar 40 persen. Soal bentuk, tergantung selera. Bisa bulat atau kotak. Mi juga bisa dibuat basah atau kering. Namun, trio mahasiswa ini memilih membuat mi kering agar tahan lama. "Masa kedaluwarsanya 6 hingga 8 bulan," kata Ricki.
Kerja keras mereka tak sia-sia. Dalam Kompetisi Teknologi Pangan se-Dunia 2011 yang digelar oleh IFT di New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat, 11-14 Juni 2011 lalu, mereka sukses.
Penelitiannya yang diberii judul "Melawan Masalah Kekurangan Zat Besi Melalui Produksi Mi Instan Kaya Zat Besi dengan Memanfaatkan Bahan-Bahan lokal" berhasil menyabet juara pertama. Sedangkan juara kedua diraih oleh tim dari Universitas Gadjah Mada Yogtakarta dan juara ketiga disabet oleh tim dari Institue of Chemical Technology India.
Menurut dosen pembimbing mahasiswa, Agustin Krina Wardani, keunggulan mi buatan mahasiswa FITP ini terletak pada besarnya kandungan zat besi. Selain itu, produknya akan digemari masyarakat karena mi merupakan produk yang populer dan menggunakan bahan-bahan lokal. "Produk mereka bisa membantu program pemerintah dalam mengatasi masalah kekurangan zat besi dan mendorong peningkatan produk pertanian," katanya.
BIBIN BINTARIADI
sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/uji_produk/2011/07/01/brk,20110701-344232,id.html
0 komentar:
Posting Komentar