Selasa, 09 Agustus 2011

Catatan Harian Seorang Pemulung

Jakarta, terlalu pagi engkau menyapaku. Dengan embun menggantung yang enggan turun. Seolah tak tahu harapan pucuk daun yang telah lama menengadah. Menunggu mandi dengan tetesan lembut embun berkerumun. Matahari pun mengintip sayu dibalik menara. Hanya memincing, seolah enggan menatap wajah kota yang keras dan beringas. Kota yang belumur pupur asap putih, dan tak jarang hitam bak jelaga.


Pagi ini tak kulihat rimbunan pohon berdaun kaca. Burung gereja pun enggan datang karena tahu tak dapat berkaca di daun-daun yang biasanya basah itu. Aku tak perduli dengan tatap heran sang burung gereja, gerobak yang tak lagi kotak ku hela pelan bertandang ke rumah kawan-kawanku yang lain, lalat-lalat hitam yang tengah berpesta berebut bangkai.


Jakarta, terlalu lama kau tak beranjak sore. Terik tak lagi terasa panas, hujan tak lagi mampu membasahi raga berkeringat yang tertutup debu-debu kota yang hitam. Tak kuperdulikan lagi tatapan heran lalat-lalat hitam yang tengah membersihkan mulutnya dari serpihan bangkai, aku seret gerobak dengan tergesa. Berharap musuh bebuyutanku, sang banjir terlambat datang. Bila dia datang mendahuluiku, musnah sudah harapanku bersama larutnya plastik-plastik ke arah sungai yang deras.


Jakarta, terlalu larut engkau terjaga. Dengan hiruk pikuk suara mesin-mesin bernyawa yang bernama manusia. Dengan ribuan kunang-kunang kota yang tak berkedip. Dengan guguran sayap laron-laron yang berterbangan. Persis daun-daun kering kecoklatan yang runtuh dimusim gugur.


Disini, di bawah lengan gerobak aku duduk tunduk telungkup. Kedua lenganku kulipat rapat-rapat untuk menutup mata yang tak kunjung terpejam. Aku tertunduk bukan karena tak bernyali, aku sudah bosan menengadahkan wajah menghadang apapun tantangan yang datang. Aku tersudut bukan karena kalah, aku sudah jengah dan lelah bergelut dengan waktu dan debu. Aku pejamkan mata bukan karena takut seperti pengecut, tapi aku malu dengan bayangan yang seharian menemaniku. Sepertinya dia mencibirku dengan doanya “Ya Tuhanku, aku telah lelah puluhan tahun menemani pemulung ini berjalan, tak ada guna dan tak ada yang kudapat selain hanya untuk menuruti takdir yang telah Engkau tetapkan untukku!”

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Visitors

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops